Siboro menurut sejarah kerajaan Dolog Silou (10)

No: 10

Judul: Kerajaan Dolog Silou: Silsilah, Perkembangan dan Kesudahannya
Oleh: Bandar Alam Purba Tambak, Herman Purba Tambak
Tanggal: 2019
Sumberhttps://www.researchgate.net/publication/376857585_Kerajaan_Dolog_Silou_Silsilah_Perkembangan_dan_Kesudahannya
Pencatat referensiArnold Siboro

Buku ini merupakan karya dua orang penulisnya, Bandar Alam Purba Tambak dan Herman Purba Tambak. Tulisan Bandar Alam Purba Tambak terbit pertama kali pada tahun 1967 oleh percetakan HKBP Pematangsiantar, isinya bersumber pada Partikian Bandar Hanopan yakni manuskrip kuno yang mengisahkan Kerajaan Dolog Silou. Sedangkan tulisan Herman Purba Tambak dicetak pertama kali tahun 1985 dan diterbitkan ulang pada tahun 2008. Kedua tulisan ini digabung menjadi buku ini yang terbit tahun 2019, tanpa mengubah isinya (tulisan Bandar Alam Purba Tambak hingga halaman 70, tulisan Herman Purba Tambak mulai halaman 71), hanya perubahan:
  • tata bahasa merujuk Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)
  • pemberian catatan kritis berupa catatan kaki (footnote)
  • penyisipan (insert) foto atau gambar serta pendahuluan expert (ahli). 

Berikut kutipan dari buku ini terkait Siboro (huruf tebal dan garis bawah ditambahkan):

Halaman 3:
Klan Purba Tambak terdiri dari (i) bawang, (ii) Tualang, (iii) Sigumonrong, (iv) Lombang, (v) Sidasuha, Sidadolog, Sidagambir, Sidabalog, (vi) Girsang (partanja batu), (vii) Siboro-Sinomba. Berlambangkan bubu (alat penangkap ikan) dan ultob (sumpit) yakni sejenis senjata yang dihembus.

Halaman 30:
Tuan Radjomin alias Nai horsik
Pada suatu ketika ia merasa akan mendapat serangan, sehingga ia berpesan kepada Tuan Dolog Mariring agar datang ke Pamatang Dolog Silou untuk mengatur penyerahan lebih dahulu sebelum diserang oleh pihak musuh. Pada waktu itu ditentukanlah Penghulu Tambak Bawang menjadi Guru perintis Bala dipusatkan di Kampung Simanabun dan dari sana diatur penyerangan. Dapatlah diduduki (di taklukkan) Kampung Hutabayu kemudian Kampung si Bau Bibir dan seterusnya Kampung Sisulung dan Sarbakti. Dengan di dudukinya kampung ini, maka tertundahlah niat dari kerajaan- kerajaan di lingkungannya untuk mengadakan serangan-serangan ke Daerah Kerajaan Dolog Silou.

Atas kemenangan ini, maka Sibayak Barus Jahe mengijinkan putrinya menjadi Permaisuri di Kerajaan Dolog Silou. Pada upacara perkawinan ini yang diadakan di Kampung Barubei, hadir para penduduk dari Kepenghuluan Tanjung Muda, Partibi Raja, Hutasaing, Purbasinomba, Purbatua dan Tambak Bawang. Pada waktu itu di bicarakan penentuan batas antara Daerah Kerajaan Dolog Silai, Barus Jahe (Karo) dan daerah Sumapang (Serdang) *).

Almarhum meninggalkan dua orang anak laki-laki, masing- masing bernama Maraidjo yang menggantikan ayahnya menjadi Raja Dolog Silou dan yang seorang lagi menurut ingatan orangtua, sejarahnya oleh karena sesuatu pertikaian membentuk perkampungan Siboro **) dan menanamkan dirinya bermarga Poerba Tambak Siboro. Kemudian pada generasi yang ke-3, salah satu keturunannya mengabdikan dirinya kembali pada Tuan Lurni (Raja Dolog Silou ke-10), sehingga ia bernama Tuan Siat Dolog, yang bermakna: "diterima kembali di Pamatang Dolog Silou". Saudaranya bernama Tuan Sakka kemudian membentuk perkampungan bernama Siboro ***). Semasa hidupnya juga menjadi Wakil Parbapaan Dolog Silou.

*) Catatan sejarah selanjutnya tidak dikutip dalam buku ini, karena dianggap tidak perlu (hanya merupakan peperangan gerilya dalam memperluas daerah pertanian)
**) Kampung Siboro terletak di Kecamatan Purba Horisan di dekat Haranggaol
***) Tuan Sakka membentuk perkampungan bernama Siboro, terletak di Dolog Silou

Halaman 73
Pustaka Silou dan cerita turun menurun dari orang tua hanya menyebutkan bahwa leluhur Silou berasal dari Tambak Bawang. Tidak dapat informasi yang menjelaskan asal usul *) marga Tambak sebelum berdomisili di Simalungun

*) Tentunya cerita ini adalah peristiwa terjadinya migrasi besar-besaran Suku Batak ke Barat (Gayo berarti lari), Lingga ke Selatan (Nagur) pada saat tersebarnya marga-marga ke berbagai penjuru termasuk Simalungun. Sementara Tuan Bandaralam yang menerjemahkan Pustaha Bandar Hanopan menuliskan bahwa marga Purba khususnya Tambak berasal dari Minangkabau lalu ke Natal dan terus ke Simalungun. Sutan Martuaraja, guru Sejarah di Pematangsiantar, yang menyelidiki tarombo tua di Dolog Silou menjumpai nama Inderawarman sebagai nama pertama dalam daftar leluhur, tiba pada kesimpilan bahwa Tambak berasal dari keturunan Jawa Minangkabau. Tetap dia menyebutkan bahwa keterangan itu tidak dijumpai pada buku Pararaton, riwayat Kerajaan Singosari. Tapi penulis menjumpai nama itu dalam buku Sejarah Minang yang menjelaskan bahwa Inderawarman adalah putera dari Aditya Warman, yang pada tahun 1349 menjadi Raja di Minangkabau. Adytiawarman adalah keturunan Majapahit dari Minangkabau. Ketika itu seluruh Sumatera berada dibawah kekuasaannya. Kemungkinan sekali masa inilah Puteranya, Inderawarman, diangkat menjadi raja di Silou. (Tetapi keberadaannya menjadi raja Nagur. Buktinya, Nagur masih eksis ketika Aceh menyerang Haru pada tahun 1539). Cerita marga Purba di Tapanuli lain lagi. Putera Purba yang ketiga Sigulang Batu menurunkan: 1. Partali Ganjang, 2. Gr Tondang ni Aji. Partali Ganjang menurunkan Guru Sotangguon yang berputra pula Guru Somalate dan Datu Rajim. Guru Somalate berputera pangultopultop yang merantau ke Dairi Pakpak dan Simalungun. Anaknyalah yang bernama Tambak, Pakpak, Girsang, Siboro. Sebagian marga Pakpak, Girsang dan Siboro mengaku keturunan Purba dari Tapanuli. Tetapi tambak dan dan saudara Selbunya: Sigumonrong, Tanjung, Tua dan Silangit tidak pernah mendengar dan mengakui cerita seperti itu dari leluhur mereka.

Halaman 75
A. Latar Belakang
Sementara itu Tuan Horsik, putera dari pengulu di Tambak Bawang ini, pergi ke merantau ke sebelah Timur. Di tengah perjalanan, terlihat olehnya seekor burung, lalu di sumpitnya. Burung itu hampir mati ketika hendak di tangkap ia terbang lagi. Di kejauhan terdengar kembali burung itu bernyanyi "Tintin ni ise on" (cincin siapa ini). Burung itu diikutinya. Di sumpitnya lagi, lalu terbang lagi. Begitulah seterusnya, hingga tak disadari ia telah tiba di Nagur Bolag ibukota Kerajaan Nagur.

Di sana ia di terima degan baik dan Raja memintanya untuk menjadi pemburu pribadinya, sehingga ia dikenal dan di juluki dengan panggilan Pangultop-ultop. Kemudian Raja Nagur menerimanya menjadi menantu dan kepadanya diberikan sebuah perkampungan baru yang dinamai Silou, dekat sebuah anak sungai yang bernama Bah Polung.

Keahlianya menyumpit serta situasi negara yang mendesak untuk kebutuhan perang menyebabkan Pangultop-ultop diikutsertakan dalam pasukan kerajaan. Pada masa itu Aceh yang diperintah oleh Sultan Riayat Syah Al’Qahhar, yang naik tahta pada tahun 1537, menjalankan politik expansi yang di dasari oleh motif pengislaman. Program demikian tentunya merupakan ancaman terhadap Kerajaan-kerajaan Hindu di Sumatera, terutama bagi Kerajaan-kerajaan Batak, Haru, Lingga, dan Nagur (27:270). Tidak menunggu lama. Pada bulan Juni 1539, mulailah Aceh membuka serangan. Untuk mengisoler Haru, Aceh lebih dulu menyerang ke selatan. Mengenai serangan pertama ini Ferdinand Mendez Pinto memberi dua laporan.

Halaman 77
B. Pangultop-ultop menjadi Raja
Seperti telah ditulis di atas, bahwa tiga putera Nagur yang hancur ini tewas dalam perlawanan terhadap Aceh. Tetapi setelah kekalahan Aceh oleh pasukan Haru atas dukungan Imperium Melayu, Nagur bangkit kembali. Tewasnya ketiga putera Nagur menyebabkan menantunya yang bernama Tuan Horsik, marga Purba yang berasal dari Tambak Bawang ini diangkat untuk meneruskan pemerintahan. Pada upacara pelantikannya ia di beri gelar Jigou *). Demikianlah kekuasaan beralih kepada dinasti Silou. Pratikkannya mencatat bahwa kerajaan ini kemudian disebut dengan nama Nagur Bolag Silou **), yang jelas menggambarkan perpaduan dari kedua dinasti itu (kemudian lebih dikenal dengan nama Silou).

*) Ada diceritakan bahwa waktu penobatannya, saat upacara hendak dimulai gendang tidak dapat mengeluarkan bunyi. Menurut orangtua, gendang itu tidak berbunyi karena masih ada anggota eluarga yang patut hadir belum berada di tempat. Tuan Jigou segera menyadari kealpaannya itu lalu menyuruh utusannya untuk menjemput puteranya yang dilahirkan oleh ibunya yang lain yang dipeliharanya secara diam-diam. Setelah tiba, barulah gendang dapat di bunyikan, lalu acara diteruskan. (Dalam versi lain disebut gendang itu tak berbunyi karena anak itu disembunyikan di dalamnya). Pengalaman ini membuat anak itu dijuluki di Gonrang. Lama kelamaan menjadi Sigumonrang, dan akhirnya menjadi Sigumonrong.
**) Batara Sangti, yang merujuk dari bahasa Batak asli, mengatakan bahwa perkataan Silou bersumber dari mistik Batak Kuno yaitu Silou na bolon dan Panei na Bolon yang berarti Naga yang dipuja sebagai penguasa bumi, air, dan angkasa. (15:17)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Datu Parulas Parultop Nainggolan Lumban Raja di Pematang Bandar - Perdagangan (8)

Datu Parulas menurut Sihombing Lumbantoruan (14)