Perjalanan Datu Parulas Parultop Nainggolan Lumban Raja di Pematang Bandar - Perdagangan (8)

No: 8
Judul: CERITA RAKYAT DAERAH SUMATERA UTARA
Oleh: DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAY AAN, PROYEK INVENTARISASI DAN DOKUMENTASI KEBUDAYAAN DAERAH, JAKARTA 1982
Tanggal: September 1982 
Sumberhttps://repositori.kemdikbud.go.id/8296/1/CERITERA%20RAKYAT%20SUMATERA%20UTARA%20%281982%29.pdf
Pencatat referensiKardi Siboro

Bab 7 "Keramat Kubah Pandan Perdagangan" halaman 63-66.

Ada banyak versi cerita mengenai keberadaan Datu Parulas Parultop yang ada di tengah-tengah masyarakat batak secara umum yang membuat para pendengar maupun pembaca menjadi bingung. Hal semacam ini sangat lumrah terjadi, karena dimasa lalu cerita itu dituturkan secara lisan, sehingga sangat mungkin terjadi distorsi isi cerita dari penutur awal ke penutur berikutnya.

Dalam postingan ini, penulis ingin menyuguhkan sebuah cerita rakyat yang berasal dari Pematang Bandar - Simalungun, Provinsi Sumatera Utara, lokasi ini dekat dengan kota Lima Puluh. Cerita rakyat yang dimaksud sudah dibukukan oleh pemerintah RI pada tahun 1982 melalui PROYEK INVENTARISASI DAN DOKUMENTASI KEBUDAYAAN DAERAH. Penulisan cerita rakyat ini bersumber dari cerita rakyat yang dikisahkan turun temurun di tengah-tengah masyarakat. Dalam buku tersebut juga dicantumkan nama-nama narasumber penulisan buku tersebut

***

KERAMAT KUBAH PANDAN PARDAGANGAN

Pada zaman dahulukala waktu hidupnya nenek pencerita Andik Damanik, datanglah 7 orang dukun dari Samosir ke Pematang Bandar sekarang ini. Ketujuh orang dukun itu adalah, marga: Silalahi, Nainggolan, Sidabutar, Sirait, Sitorus dan Manik. Datangnya ketujuh orang ini adalah akibat kalah judi dan minum-minuman keras (mabuk). Ke mana pun pergi ketujuh dukun ini selalu bersama-sama karena mempunyai keahlian masing-masing untuk mengobati sesuatu penyakit. Dengan kata lain mereka bersahabat dan sehidup semati.

Sebelum tiba di Pematang Bandar mereka sudah berbulanbulan dalam perjalanan karena waktu itu belum ada jalan raya.Jadi mereka harus menempuh hutan belukar, gunung dan lembah serta binatang buas dan perampok. Mereka sudah penuh pengalaman pahit waktu melewati hutan belukar, sungai gunung tersebut. Suatu ketika karena letih dan lapar dalam perjalanan itu mereka istirahat pada suatu tempat. Mereka terpaksa memakan bahan makanan yang belum pernah dimakannya daripada mati kelaparan di situ. Di hutan itu banyak sekali tumbuh sungkit. Buah sungkit inilah yang mereka makan untuk menahan lapar. Kemudian, untuk melepas dahaga, mereka pergi minum pada sebuah sungai kecil yang melintas di situ. Akibat buah sungkit yang mereka makan tadi maka air sungai itu mereka rasakan manis. Sejak itulah sungai kecil itu bernama Bah Tabu. Salah satu di antaranya mereka itu, yakni marga Nainggolan itu terkenal dengan gelar Datu Parulas. Datu ini adalah seorang Parultop yang tangkas dan pandai sekali memanah. Hasil panahannya itu adalah bermacani-macam binatang hutan, itulah sering yang jadi bahan makanan mereka bertujuh dalam perjalanan itu.

Harl berganti hari, bulan berganti bulan dalam perjalanan itu sampailah mereka pada suatu tempat yang bernama Pematang Bandar. Di sinilah mereka menemui penghulu Andik Damanik. Lama kelamaan Andik Damanik mengenal mereka dengan baik karena mereka tinggal di rumah penghulu tersebut. Kalaupun mereka pergi ke mana-mana, mereka selalu kembali bermukim di rumah itu. Karena itu masyarakat desa itu sudah kenal dengan mereka.

Pada suatu hari ketujuh orang ini bertemu dengan seorang Lobe dari suku Batak Simalungun.

"Kalian ini berasal dari mana?" katanya.

"Dari Samosir, Tuan," jawab mereka.

"Maukah kalian masuk Islam?" kata Lobe.

"Ya, mau Tuan," kata mereka itu.

 Ketujuh orang itu jadi pemeluk agama Islam. Seterusnya mereka diajar tuan Lobe beramal. Suatu ketika, mereka mau mempraktekkan amalan itu pada suatu tempat di seberang Bah Bolon. Tetapi karena tiada perahu atau titi ke seberang, mereka mempergunakan daun kembahang. Dengan daun kembahang itu mereka menyeberang Bah Bolon pada kubah sekarang ini. Di sinilah mereka mengamalkan ilmu yang dipelajarinya dari guru itu. Berbulan-bulan lamanya mereka mempraktekkan amal di tempat itu. Tetapi suatu ketika sebelum amalan mereka itu lengkap tuan Lobo guru mereka itu meninggal dunia. Mayatnya dibawa ke Pematang Bandar untuk dikuburkan. Setelah selesai acara penguburan itu kembalilah ketujuh dukun ini ke kubah tempat bertapa mereka. Di sanalah mereka meneruskan amalan mereka untuk beberapa lama lagi.

Suatu hari, setelah letih, lapar dan haus, mereka pergi ke tepi sungai di tempat itu. Waktu mereka sedang makan, mereka melihat petai di dalam air sungai itu. Mereka berpikir bahwa selera makan akan bertambah jika petai itu dimakan bersama nasi. Untuk mendapatkannya mereka berlomba melompat ke dalam air sungai. Satu demi satu orang itu melompat hingga enam orang, semuanya hilang gaib, tak tahu ke mana perginya. Melihat keadaan itu, marga Sirait jadi heran tak habis-habisnya. "Satu pun tak munculmuncul", pikirnya. Waktu Sirait mau rnelompat lagi untuk mengambil petai yang masih nampak itu, tiba-tiba terdengarlah suara seekor kera yang sedang memanjat di atas pohon itu. Segera dilihatnya ke atas, nampaklah kera itu dan buah petai yang sesungguhnya. Sadarlah dia bahwa petai itu sebenarnya berada di atas bukannya di dalam air. Yang ada dalam air sungai itu hanyalah bayangan belaka.

Kemudian berpikir-pikirlah Sirait sendirian. "Ke manalah gerangan kawannya itu pergi semua? Air ini tidak begitu dalam, tetapi sampai enam orang kawanku sependeritaan tidak nampak lagi." Pada waktu berpikir-pikir demikian itu matanya terus diarahkan ke air sungai, tiba-tiba muncullah seekor ular naga Banus. Karena itulah maka mulai saat itu sungai itu dinamai orang Bah Banus. Sirait semakin takut menjadi-jadi setelah melihat ular yang besar itu. Menurut pikirannya, ular itulah yang telah memakan ke enam sahabatnya itu. Perasaannya semakin sedih· bercampur ngeri mengingat persahabatan yang begitu lama tapi tiba-tiba direnggut musibah itu. "Kami sudah sehidup semati sejak di Samosir dan melalui perjalanan jauh sampai di tempat ini," pikirnya. Terbayang kembali olehnya betapa buasnya hutan dan marabahaya yang mereka hadapi. "Kalau inilah saatnya berpisah ke manakah saya yang sebatang kara ini pergi?" demikian yang mendesak dalam pikiran Sirait. "Lagi pula, saya katakan mereka dimakan ular naga ini, tak ada buktinya; mungkin mereka itu masih hidup. Saya tunggu lebih lama di sini, mungkin saya ini akan mati dimakannya juga." Demikianlah Sirait berpikir-pikir tidak im;mentu. Kiranya, tak sadar dia, air matanya telah meleleh membasahi pipinya. Kadang-kadang timbul dalam pikirannya, ah, untung sekali kudengar suara kera itu, sehingga kuketahui bahwa petai dalam air itu adalah bayangan. Kalau tidak karena kera itu, mungkin saya sudah terjun ke dalam air mengambil petai bayangan celaka itu." Sebentar kemudian timbul lagi dalam hatinya, "Sampai 6 orang kawanku menghilang di sungai ini. Apa artinya kejadian ini? Sungguh suatu teka-teki. Benar-benar tempat ini angker. Kalau tidak, tak mungkin terjadi yang demikian, dan . . . . ular naga yang besar ini lagi." Demikianlah yang timbul dalam pikiran Sirait.

Setelah lama ditunggunya tidak juga muncul, putuslah harapannya untuk melihat kembali kawan-kawannya. Hatinya pedih dan air matanya terus melimpah. Sirati semakin kebingungan akan peristiwa itu. Jalan terakhir, dia mesti angkat kaki darl tempat itu. Dengan terisak-isak, tempat itu ditinggalkannya. Sambil melangkah timbul dalam benaknya, "Kepada siapakah kejadian ini saya beritahukan? Sarnosir begitu jauh, di tern pat ini tak ada sanak famili. Tetapi bagaimanapun, saya mesti pulang ke Samosir sebab tinggal di tempat ini tak ada lagi kawanku. Lagi pula, kejadian ini harus saya beritahukan ke Samosir." Setelah berkesimpulan demikian, langkahnya dipercepat. Tiba di Pematang Bandar, diberitahukannyalah kejadian itu kepada Andik Damanik. Waktu itu diberikannyalah sebuah tongkat kepada Andik untuk menjaga kubah itu, lalu Sirait terus bernagkat pulang ke Samosir. Dan sejak itu turunan Andik menjagai kubah itu selama empat generasi, serta sejak itu pulalah tempat itu dianggap keramat dan diziarahi oleh orang-orang yang mempercayainya, terlebih-lebih orang-orang Cina.

Demikianlah cerita tentang Keramat Kubah Pandan Pardagangan ini

***

Ulasan :

Dalam cerita di atas dijelaskan bahwa marga Sirait ( Manurung) adalah satu-satunya orang yang selamat dalam kejadian naas itu. Manurung yang dimaksud adalah Ipar/Lae dari pada Datu Parulas Parultop Nainggolan Lumban Raja. Hal ini diketahui dari penelusuran silsilah yang menegaskan bahwa Datu Parulas Parultop Nainggolan Lumban Raja menikah dengan putri dari Tuan Sijambang marga Manurung. Dikisahkan dalam tarombo bahwa Datu Parulas Parultop Nainggolan Lumban Raja pergi dengan Iparnya bersama dengan 5 (lima) datu sakti lainnya.

Pertanyaan yang muncul dalam benak, apakah Manurung menceritakan kisah yang sebenar-benarnya yang terjadi kepada ahli keluarga?

Namun di dalam kisah tersebut dijelaskan bahwa kejadian tersebut diceritakan kepada Pengulu Andik Damanik pada saat penyerahan Tongkat Perguruan, tepat sebelum kepulangannya ke Samosir. Apakah peristiwa yang diceritakan kepada pangulu Andik Damanik sama persis dengan cerita yang disampaikan kepada ahli keluarga 6 (dukun) sakti lainnya.

Penulis berpendapat, kepada ahli keluarga 6 (enam) datu sakti lainnya akan disampaikan kisah yang berbeda, sebab akan sangat janggal jika 6 (orang) datu sakti dari Samosir meninggal dimakan ular secara bersamaan. Hal ini terbukti, dalam penelusuran selanjutnya, berita yang sampai kepada ahli keluarga bahwa mereka meninggal karena usia disaat mereka sedang menjalankan ritual Tapa/Semedhi.

Namun berbeda dengan Pengulu Andik Damanik dan juga seluruh penduduk yang ada di Pematang Bandar, oleh karena mereka tidak memiliki kepentingan apapun terhadap kejadian naas tersebut, maka mereka tetap mengkisahkannya berdasarkan kisah yang sebenar-benarnya, tepat seperti kisah yang disampaikan oleh Marga Manurung kepada Pengulu Andik Damanik dan kepada warga yang ada di Pematang Bandar.





 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Datu Parulas menurut Sihombing Lumbantoruan (14)