Asal-usul kerajaan Purba menurut J. Tideman tahun 1922 (3)

No: 3
Judul: SIMELOENGOEN
Oleh: J. Tideman
Tanggal: 1922
Sumber: https://archive.org/details/simeloengoenhetl00tide/page/n7/mode/2up
Pencatat referensi: Arnold Siboro

Berikut asal-usul kerajaan Purba menurut buku "SIMELOENGOEN" karya J. Tideman (PDF-nya bisa juga didapatkan di sini), asisten residen, terbitan tahun 1922, yang didirikan oleh Parultopultop.

(Judul lengkap buku ini adalah SIMELOENGOEN HET LAND DER TIMOER-BATAKS IN ZIJN VROEGERE ISOLATIE EN ZIJN ONTWIKKELING TOT EEN DEEL VAN HET CULTUURGEBIED VAN DE OOSTKUST VAN SUMATRA DOOR  J. TIDEMAN, ASSISTENT-RESIDENT, atau dalam bahasa Indonesia "TANAH TIMUR-BATAK SAAT MASIH TERISOLASI DAN PERKEMBANGANNYA MENJADI BAGIAN WILAYAH KEBUDAYAAN PANTAI TIMUR SUMATERA OLEH J. TIDEMAN, ASISTEN RESIDEN")

Kisah ini tertulis pada "Bab II Sejarah", bagian "§3. Legenda dan cerita mengenai asal usul dan asal muasal suku dan keluarga kerajaan", halaman 78-83, sebagai berikut ini (teks asli dalam bahasa Belanda menyusul setelah terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Google Translate).

TEKS TERJEMAHAN KE BAHASA INDONESIA


Poerba.

Raja pertama Poerba berasal dari negara Pakpak. Ia merupakan anggota Marga Poerba yang mencari nafkah dengan berburu burung. Suatu ketika ia sedang berburu di Sidikalang dengan menggunakan “Toentoeng Batoe” dan ia memukul seekor burung dengan sumpitannya, namun tidak berakibat fatal. Ia ingin menangkap binatang itu, namun setiap kali ia terbang lagi, lalu terjatuh lagi dan semakin menjauh dari Toentoeng Batu. Pemburu itu mengikuti mangsanya hingga tiba di Nago Raja (mungkin Nagoer Raja), sebuah kampung yang dulunya milik Nagoer dan kini berada di bawah kekuasaan Raja. Di sana dia tidak lagi melihat burung itu. Ia memasuki kampung tersebut dan mereka memanggilnya Paroeltopoeltop, yaitu petarung dengan sumpitan 1). Toehan Nago Raja menerimanya dengan baik dan menyuruhnya mengambilkan burung untuk dirinya sendiri. Karena Paroeltopoeltop berperilaku baik, Toehan Nago Radja mengawinkannya dengan putrinya. Beberapa saat setelah menikah, ketika ia sedang berburu lagi, tiba-tiba ia melihat lagi burung Toentoeng Batu, maka ia pun mengikuti binatang tersebut. Burung itu hanya bisa terbang dalam jarak pendek dalam satu waktu. Di suatu tempat, yang sekarang disebut Pematang Poerba, ia kehilangan pandangan terhadap burung tersebut. Itu sebabnya dia membuat pos jaga di hutan sini dan berusaha mencari binatang itu dari sana. Namun, dia tidak berhasil, karena tidak lagi terlihat.

Setelah tinggal di sana beberapa hari, ia kembali ke Nago Radja, namun tersesat dan berakhir di kampung Simalobong. Di sini dia tinggal selama beberapa waktu bersama seorang petani dan menanam segala jenis tanaman. Tuhan Simalobong menikah dengan putri seorang harajaan (gamot; lihat §2b bab III) dari Siantar. Suatu ketika mertuanya Toehan datang mengunjungi Simalobong. Ia ditemani oleh seorang adik perempuan yang berpenampilan cantik. Suatu hari ketika dia berjalan keluar kampung dan bertemu dengan ParoeltopoeltopParoeltopoeltop langsung meninggalkan kesan mendalam pada dirinya; Penampilannya bagus dan rajin, terbukti dari hasil perkebunannya yang bagus. Dia meminta kepadanya beberapa buah, yang segera diberikan kepadanya, agar dia juga tahu bahwa dia dermawan. Dia selalu berusaha menemuinya di ladangnya. Mereka mengenal satu sama lain dengan baik sampai mereka setuju untuk bertunangan. Tak lama kemudian dia kembali ke Siantar dan Paroeltopoeltop pergi berburu lagi dengan sumpitannya.

Wanita muda itu terus memikirkan Si Paroeltopoeltop di Pematang Siantar dan meminta izin kepada ayahnya untuk pergi ke Simalobong, namun ayahnya tidak mengizinkannya karena bahaya perampok. Ketika beberapa perempuan Siantar pergi ke Sipolha untuk membeli mangkudu, mereka ikut bersama dengan harapan bisa melihat Paroeltopoeltop. Untuk mencarinya, dia mengikuti beberapa orang yang melangkah lebih jauh, dan akhirnya dia bertemu dengannya saat dia sedang mengantarkan sayur-sayuran dan buah-buahan kepada passar di Tiga Langgioeng (Poerba).

Ketika mereka bertemu lagi, mereka kembali ke ladang Paroeltopoeltop dan menikah di sana. Semakin lama mereka tinggal di ladang tersebut, semakin banyak hiburan yang didapat, karena orang-orang dari Marga Poerba dari negeri Pakpak, dari Siboro dan tempat lain datang untuk menetap di sana. Akhirnya Toehan Simalobong mendengar bahwa adik mertuanya telah menikah dengan Paroeltopoeltop. Mendengar hal ini dia menjadi marah dan menginginkannya kembali. Paroeltopoeltop tentu saja tidak mau terlibat dalam hal ini. Itulah sebabnya Tuhan Simalobong ingin mengusirnya dari tempat tinggalnya, namun Paroeltopoeltop menjawab bahwa ia tidak dapat diusir dari sana, karena tanah tersebut adalah miliknya. Toehan Simalobong kemudian berkata: "Jika Anda berani menegaskan hal itu dengan sumpah, saya setuju dengan itu dan Anda dapat menganggap diri Anda seorang Raja." Paroeltopoeltop meminta waktu satu bulan untuk mengambil sumpah itu, pergi ke negara-negara Pakpak dan mendapatkan sebidang tanah dan air. Di tempat masih beradanya Tiga Roenggoe (tiga, yakni pasar, di perbatasan Raja dan Poerba) dan di mana banyak orang berkumpul untuk berdagang barang-barangnya, setelah satu bulan berlalu, di hadapan beberapa raja, Paroeltopoeltop, setelah meletakkan tanah yang dibawanya di bawah keranjang dan air di dalam “laboe” (sejenis labu) dan duduk di atasnya, bersumpah bahwa tanah dan air yang didudukinya adalah barang propertinya. Sejak saat itu tempat tinggalnya disebut Poerba, karena Paroeltopoeltop dari marga Poerba adalah raja di sana.

Setelah Paroeltopoeltop beberapa waktu menjabat sebagai raja di Poerba, bergabunglah dua orang huloebalang, yaitu: Si Bantenangnang dan Parhole Nasa Andoeri dari marga Saragih Simarmata (keduanya dari Samosir), yang membujuknya untuk memindahkan beberapa kampung sekitar ke wilayahnya.

Pada hari ketika masyarakat berkumpul di Tiga Langgioeng untuk berdagang, mereka menyerang dan Siboro, Poerba Sariboe, Sipinggan, Hoeta Radja, Bonggoeron (Nagori) direbut. Dari sinilah terbentuknya kerajaan Poerba dengan Paroeltopoeltop sebagai penguasa pertamanya.

1) Oeltop adalah sumpitan; Oleh karena itu jenis bambu yang menjadi bahan pembuatan alat musik ini disebut boeloeh oeltop.

 

Si V Kuta.

Raja bentang alam ini juga berasal dari seorang pemburu dari negeri Pakpak, namun ia tidak mengikuti seekor burung, melainkan seekor rusa yang ditembaknya di Lehoe (Sidikalang) sebelah Timur. Namanya Si Girsang. Rusa itu dikejar anjingnya sampai ke Tandoek Banoewa (atau Si Piso Piso). Di sini mereka kehilangan jejak, namun Si Girsang menemukan carabao putih (horbo djagat) yang darinya ia menyimpulkan bahwa ia berada di dekat sebuah kampung. Ia mendaki untuk mengamati daratan dan untuk membenarkan pendapat tersebut, Tanduk Banuwa dan anjing-anjingnya mengikutinya, namun karena seharian tidak makan dan minum, mereka kelelahan dan haus, sehingga Si Girsang merasa terbentang di bawah. sebatang pohon dan meminum beberapa tetes yang jatuh dari daun di bibirnya, dan sembuh. Anjing-anjing itu berlari dengan lidah menjulur keluar dari mulutnya dan Si Girsang yang ingin menolong hewan-hewan itu, memetik beberapa dawan (jamur) merah dan memberi mereka makan, namun ternyata beracun.

Dia segera memberi mereka jamur putih, yang membuat hewan-hewan itu sekuat sebelumnya. Demikianlah Si Girsang mengetahui bahwa jamur merah itu beracun dan jamur putih bisa dijadikan obat. Dari gunung ia melihat sebuah kampung besar, tempat tinggal Marga Sinaga. Kampung ini bernama Naga Mariah. Di sini dia pergi dan dibawa ke rumahnya oleh salah satu warga.

Saat itu Naga Mariah diancam oleh musuh yang datang dari Siantar dan bermalam di D. Singgalang untuk memasak dan istirahat. Kolam di kaki D. Singgalang, tempat masyarakat mengambil air untuk diminum, kini masih disebut Paja Siantar. Toehan Naga Mariah melihat jumlah musuh yang banyak, ia mengalami kesulitan yang besar, namun kini Si Girsang mengusulkan agar dia sendirilah yang harus menghancurkan musuh tersebut. “Jika kamu berhasil,” jawab Tuhan Naga Mariah, “maka aku akan memberimu boöe (putri pangeran) sebagai istri.” Ia kini meminta agar masyarakat Naga Mariah diperintah untuk mengumpulkan duri sebanyak-banyaknya, baik dari duri bambu, pohon jeruk, rotan, pandan atau tanaman lainnya. Si Girsang kemudian pergi mengambil jamur merah, memerasnya ke dalam air dan memasukkan duri ke dalamnya. Duri beracun itu kemudian ia letakkan di jalan yang akan dilalui musuh, dan ia menuangkan air beracun tersebut ke dalam Paja Siantar. Musuh menginjak duri dan meminum airnya, akibatnya semua orang mati. Si Girsang kemudian mendatangi Toehan Naga Mariah dan berkata, “Noenga mate marsinggalang sariboe di dolok i”, yaitu “telah terbunuh seribu musuh yang bertebaran di dekat gunung itu.” Oleh karena itu gunung itu dinamakan D. Singgalang dan tanahnya Sariboe Dolok.

Si Girsang kini menikah dengan "boo" Naga Mariah sebagaimana dinikahi para pangeran, sedangkan ia tinggal di rumah bolon (rumah besar) di sebelah kiri rumah Toehan Naga Mariah, kini Si Girsang dikenal dimana-mana sebagai ahlinya datu (peramal), yang mengetahui seni mencampur racun dan dipanggil Datoe Paroelas (ulas adalah aurus Mal). Dia sangat ditakuti karena seni itu.

Sepeninggal Toehan Naga Mariah, Datoe Paroelas menggantikannya. Beberapa waktu kemudian ia mendirikan kampung Naga Sariboe di dekat tempat terbunuhnya seribu musuh. yang menjadi ibu kota Si V Kuta. Nama ini dibenarkan karena pada saat itu terdapat lima kampung yang termasuk dalam wilayah Naga Mariah, n.1. Rakut Besi, Dolok Pariboean, Sariboe Djandi, Mardingding dan Naga Mariah.

Dari istri pertamanya, Datoe Paroelas mempunyai empat orang putra, yang tidak dianggap sebagai putra pangeran, karena ayah mereka belum menjadi pangeran pada saat mereka lahir. Mereka menjadi nenek moyang Tuhans Rakut Besi, Dolok Pariboean. Sariboe Djandi dan Mardingding. Setelah itu dia memiliki dua putra lagi. Anak tertua dari mereka mendirikan kampung Djandi Malasang dan kemudian pindah ke Bage, di mana ia mendirikan tiga (pasar) dan bale sendiri, yaitu. mandiri. Yang bungsu menggantikan Datoe Paroelas setelah kematiannya.

Baru setelah pemerintahan Belanda diperkenalkan, Bage dibawa ke bawah Si V Koeta. 


 TEKS ASLI DALAM BAHASA BELANDA


Poerba.

De eerste radja van Poerba was uit de Pakpaklanden afkomstig. Hij was iemand van de marga Poerba, die zijn levensonderhoud won met de vogeljacht. Eens was hij in het Sidikalangsche op de "Toentoeng Batoe" aan het jagen en trof hij met zijn blaasroer een vogel, evenwel niet doodelijk. Hij wilde het dier vangen, doch telkens vloog het weer een eindje op, viel dan weer neer en verwijderde zich al meer van den Toentoeng Batoe. De jager volgde zijn prooi, totdat hij in Nago Radja (wellicht Nagoer Radja) kwam, een kampong, die eertijds tot Nagoer behoorde en thans onder Raja ressorteert. Daar zag hij den vogel niet meer. Hij ging de kampong binnen  en men noemde hem Paroeltopoeltop, n.l. de jager met het blaasroer 1). Toehan Nago Radja ontving hem goed en Het hem vogels voor zich jagen. Daar Paroeltopoeltop zich behoorlijk gedroeg, gaf Toehan Nago Radja hem zijn dochter ten huwelijk. Eenigen tijd na zijn huwelijk, toen hij weer aan het jagen was, zag hij plotseling den vogel van den Toentoeng Batoe weer, zoodat hij het dier volgde. De vogel kon telkens slechts een eindje wegvliegen. Op een plek, het tegenwoordige Pematang Poerba, verloor hij den vogel uit het gezicht. Daarom maakte hij hier een wachthuisje in het bosch en trachtte vandaar uit het dier te vinden. Het mocht hem echter niet gelukken, daar het zich niet meer vertoonde.

Na eenige dagen daar verbleven te hebben, keerde hij naar Nago Radja terug, doch verdwaalde en kwam in de kampong Simalobong terecht. Hier bleef hij eenigen tijd bij een landbouwer en plantte allerlei gewassen. Toehan Simalobong was gehuwd met een dochter van een haradjaan (gamot ; zie §2b van hoofdstuk III) uit Siantar. Eens kwam diens schoonvader Toehan Simalobong bezoeken. Hij was vergezeld van een jongere zuster, die beeldschoon van uiterlijk was. Toen zij op zekeren dag buiten de kampong wandelde en Paroeltopoeltop ontmoette, maakte deze dadelijk een diepen indruk op haar ; hij had een flink uiterlijk en dat hij arbeidzaam was, bewezen zijn aanplantingen, die er goed uitzagen. Zij vroeg hem wat van de vruchten, die haar direct gegeven werden, zoodat ze ook wist, dat hij milddadig was. Zij trachtte hem telkens te ontmoeten op zijn ladang. Zij leerden elkander aldus goed kennen, totdat ze afspraken, zich te verloven. Kort daarop keerde zij naar Siantar terug en ging Paroeltopoeltop weer op jacht met zijn blaasroer.

De jonge vrouw bleef op Siantar voortdurend aan Si Paroeltopoeltop denken en vroeg haar vader om naar Simalobong te mogen gaan, maar deze kon dat niet toestaan wegens het gevaar voor roovers. Toen er nu eenige vrouwen uit Siantar  naar  Sipolha  gingen  om  mangkoedoe  te koopen, ging zij mede in de hoop Paroeltopoeltop te zullen zien. Met het doel hem te zoeken, volgde ze een paar lieden, die nog verder gingen en eindelijk ontmoette zij hem, toen hij groenten en vruchten ter pasar te Tiga Langgioeng (Poerba) bracht.

Toen ze elkaar weer gevonden hadden, keerden ze samen naar Paroeltopoeltop's ladang en huwden er. Hoe langer zij op die ladang bleven, hoe meer vertier er kwam, want menschen van de marga Poerba uit de Pakpaklanden, van Siboro en elders kwamen zich er vestigen. Eindelijk hoorde Toehan Simalobong, dat de jongere zuster van zijn schoonvader met Paroeltopoeltop gehuwd was. Hierover ontstak hij in toorn en wilde haar terug hebben. Paroeltopoeltop wilde hier natuurlijk niet in treden. Dat was de reden, dat Toehan Simalobong hem van de plaats, waar hij woonde, wilde verdrijven, doch Paroeltopoeltop antwoordde, dat hij niet van daar verjaagd kon worden, want dat dit land het zijne was. Toehan Simalobong zeide hierop: „Indien ge dat durft bevestigen met een eed, heb ik er vrede mede en kunt ge U er als radja beschouwen." Paroeltopoeltop vroeg een maand tijd om dien eed af te leggen, ging naar de Pakpaklanden en haalde er wat grond en water. Ter plaatse waar Tiga Roenggoe (de tiga, d.i. pasar, op de grens van Raja en Poerba) thans nog ligt en waar velen waren saamgekomen om hunne goederen te verhandelen, deed, nadat er een maand verloopen was, in tegenwoordigheid van verschillende radja's, Paroeltopoeltop, nadat hij de meegebrachte aarde onder een mand en het water in een „laboe" (een soort pompoen) had gedaan en daarop was gaan zitten, den eed, dat de grond en het water, waarop hij zat, zijn eigendom waren. Van toen af heette zijn woonplaats Poerba, omdat Paroeltopoeltop van de marga Poerba er radja was.

Nadat Paroeltopoeltop eenigen tijd als radja te Poerba vertoefd had, vervoegden zich twee hoeloebalangs bij hem n.l. Si Bantenangnang en Parhole Nasa Andoeri van de marga Saragih Simarmata (beiden van Samosir), die hem overhaalden eenige omliggende kampongs tot zijn gebied te trekken.

Op den dag, dat de menschen allen op de Tiga Langgioeng saamgekomen waren om handel te drijven, sloeg men zijn slag en Siboro, Poerba Sariboe, Sipinggan, Hoeta Radja, Bonggoeron (Nagori) werden genomen. Zoo ontstond het rijk Poerba met Paroeltopoeltop als eerste vorst.

1) Oeltop is blaasroer; hiernaar heet de bamboesoort, van welke men deze instrumenten maakt, boeloeh oeltop. 

 

Si V Koeta.

Ook de radja van dit landschap stamt van een jager uit de Pakpaklanden, die nu evenwel geen vogel, doch een hert, dat hij aangeschoten had in Lehoe (Sidikalang) naar het Oosten volgde. Hij heette Si Girsang. Het hert werd door zijne honden tot bij den Tandoek Banoewa (of Si Piso Piso) vervolgd. Hier verloren zij het spoor, doch Si Girsang vond er een witten karbouw (horbo djagat) waaruit hij opmaakte, dat hij in de buurt van een kampong was. Hij beklom, om 't land te kunnen overzien en deze meening te kunnen bevestigen, den Tandoek Banoewa en zijn honden volgden hem, doch, daar ze den geheelen dag geen eten of drinken hadden gehad, werden ze doodmoe en dorstig, zoodat Si Girsang zich onder een boom uitstrekte en enkele druppels, die van de bladeren op zijn lippen vielen, dronk en zoo weer wat bij kwam. De honden liepen met de tong uit den bek en Si Girsang, die de dieren wilde helpen, plukte wat roode dawan's (champignons) en gaf hun die te eten, doch het bleek, dat ze vergiftig waren.

Snel gaf hij hun nu witte champignons, waardoor de dieren weer krachtig als te voren werden. Zoo leerde Si Girsang, dat de roode champignons vergiftig waren en de witte als geneesmiddel daartegen konden dienen. Van den berg zag hij een groote kampong, waar de marga Sinaga woonde. Deze kampong heette Naga Mariah. Hier ging hij heen en werd door een der bewoners in diens woning opgenomen.

Te dier tijde werd Naga Mariah bedreigd door een vijand, die uit Siantar was gekomen en bij de D. Singgalang den nacht doorbracht om hier te koken en te rusten. De waterplas aan den voet van de D. Singgalang, waaruit deze menschen water haalden om dit te drinken, heet thans nog Paja  Siantar.  Toehan  Naga  Mariah,  het  groot getal der vijanden ziende, verkeerde in groote moeilijkheid, doch nu kwam Si Girsang met het voorstel, dat hij alleen den vijand zou vernietigen. „Wanneer U dat gelukt", antwoordde Toehan Naga Mariah, „dan geef ik U een boöe (vorstendochter) tot vrouw." Hij verzocht nu bevel te geven aan de menschen van Naga Mariah om zooveel mogelijk doorns te verzamelen, hetzij van bamboe doeri, hetzij van djeroekboomen, rotan, pandan of ander gewas. Si Girsang ging daarop de roode champignons halen, perste die uit in water en legde hier de doorns in. De vergiftigde doorns lei hij daarna op den weg, dien de vijand zou volgen, en het vergiftigde water goot hij in de Paja Siantar. De vijand trapte in de doorns en dronk het water, tengevolge waarvan allen stierven. Si Girsang ging hierop naar Toehan Naga Mariah en zeide „Noenga mate marsinggalang sariboe di dolok i", d.i. „er zijn duizend vijanden gedood, die in hopen liggen bij dien berg". Daarom werd de berg D. Singgalang en het land Sariboe Dolok genoemd.

Si Girsang huwde nu met een „boöe" van Naga Mariah op de wijze, zooals vorsten huwen, terwijl hij ging wonen in de roemah bolon (groote huis) links van de woning van Toehan Naga Mariah. Si Girsang werd nu overal bekend als een kundig datoe (wichelaar), die de kunst verstond om vergiften te mengen en men noemde hem Datoe Paroelas (oelas is oeroes Mal). Men vreesde hem om die kunst ten zeerste.

Na het overlijden van Toehan Naga Mariah, volgde Datoe Paroelas hem op. Eenigen tijd daarna stichtte hij dicht bij de plaats, waar de duizend vijanden gedood waren, de kampong Naga Sariboe. welke de hoofdplaats van Si V Koeta werd. Deze naam is gerechtvaardigd, omdat er in dien tijd vijf kampongs waren, die tot het gebied van Naga Mariah behoorden, n.1. Rakoet Besi, Dolok Pariboean, Sariboe Djandi, Mardingding en Naga Mariah.

Van zijn eerste vrouw had Datoe Paroelas vier zonen, die niet als vorstenzonen beschouwd werden, daar hun vader tijdens hun geboorte nog geen vorst was. Zij werden de voorouders van de Toehan's van Rakoet Besi, Dolok Pariboean. Sariboe Djandi en Mardingding.  Daarna kreeg hij nog twee zonen. De oudste hunner stichtte de kampong Djandi Malasang en verhuisde later naar Bage, waar hij een eigen tiga (markt) en een bale stichtte, m. a. w. zelfstandig was. De jongste volgde Datoe Paroelas op na diens dood.

Pas bij de invoering van het Nederlandsch bestuur werd Bage onder Si V Koeta gebracht.


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Datu Parulas Parultop Nainggolan Lumban Raja di Pematang Bandar - Perdagangan (8)

Datu Parulas menurut Sihombing Lumbantoruan (14)