No: 22
Judul: Kisah Guru Mangaloksa Melawan Burung Berkepala Tujuh
Oleh: Hutagalung Cyber
Tanggal: 21 September 2012
Sumber: https://hutagalung-cyber.blogspot.com/2012/09/sekilas-tentang-guru-mangaloksa-dan.html?m=1
Pencatat referensi: Kardi Siboro
Kisah Guru Mangaloksa tidaklah berhubungan langsung dengan Kisah Datu Parulas Parultop, kisah ini dianggap perlu untuk diketahui karena memiliki kemiripan kisah, secara khusus yang terkait dengan kisah membunuh burung Rajawali berkepala Tujuh dengan Sumpit, berikut kisahnya :
Sejarah Singkat Guru Mangaloksa
Guru
Mangaloksa adalah keturunan Hasibuan. Pada suatu hari beliau berburu ke
hutan, kebetulan Guru Mangaloksa mahir menggunakan sumpit (ultop). Pas
berburu, dia berhasil menyumpit seekor burung yang konon katanya sebesar
kambing, namun burung tersebut tidak langsung mati, malah terbang. Guru
Mangaloksa pun mengikuti burung tersebut, namun tanpa disadari, beliau
sudah semakin jauh dari kampung. Ketika dia sadar, dia tidak mengenal
tempat itu. Namun tiba-tiba dia melihat asap, dan beliaupun mencari tahu
asal asap itu. Dan akhirnya Guru Mangaloksa sampai lah ke Silindung
(Sekarang Tarutung). Ternyata kampung tersebut milik marga Pasaribu.
Pada
saat itu, kampung sedang dilanda teror. Di kampung tersebut sering
didatangi burung rajawali berkepala tujuh yang suka memangsa anak-anak
dan hewan ternak. Sudah banyak cara yang dilakukan raja Pasaribu untuk
mengusir burung tersebut, namun hasilnya sia-sia. Akhirnya Guru
Mangaloksa yang pandai menggunakan sumpit dan juga sakti itu, menawarkan
diri untuk membunuh burung tersebut. Dan akhirnya dia berhasil membunuh
burung rajawali berkepala tujuh itu. Sebagai imbalan, raja Pasaribu
memberikan salah seorang putrinya untuk dijadikan istri oleh Guru
Mangaloksa.
Setelah
guru Mangaloksa menikah dengan boru Pasaribu, Guru Mangaloksa berniat
meminta sedikit tanah untuk bertani kepada mertuanya(Raja Pasaribu).
Sehingga dia mengutus istrinya untuk mengahadap sang raja. Namun
ternyata terjadi salah paham, Guru Mangaloksa meminta sedikit tanah yang
oleh Raja Pasaribu diartikan berbeda. Dia pun memberikan tanah dalam
tandok (tempat beras/padi) untuk dibawa boru Pasaribu ke suaminya (Guru
Mangaloksa).
Melihat
hal itu, Guru Mangaloksa sakit hati terhadap mertuanya. Namun dia tidak
ingin bertengkar dengan mertuanya. Akhirnya dia memikirkan sebuah
siasat untuk mengelabui mertuanya dan menyuruh mereka untuk keluar dari
kampung tersebut.
Guru
Mangaloksa membuat seolah-olah kampung mereka sedang dikepung musuh,
kemudian dia meletakkan poring (sebuah tanaman jika dipijak akan
menimbulkan bunyi seperti letusan senjata). Ketika dia menyampaikan
kabar bahwa kampung telah di kepung musuh, mertuanya pun panik dan
berlari keluar. Tiba-tiba dia menginjak poring tadi, mertuanya mengira
itu adalah suara letusan senapan (bodil) musuh. Akhirnya Guru Magaloksa
berhasil mengajak mertuanya mengungsi. Sejak kejadian itu ada ungkapan
dalam masyarakat batak yaitu “Pasaribu na dilele ni poring (Pasaribu
yang dikejar poring)”.
Dalam
perjalanan ke pengungsian bersama mertuanya, Guru Mangaloksa meminta
izin kepada mertuanya untuk kembali ke kampung untuk melihat keadaan,
dan mertuanya pun merestui. Dalam perjalanan, pas di tepi aek situmandi,
anak pertama guru Mangaloksa pun lahir. Anak itu diberi nama Si Raja
Nabarat, na barat artinya yang berlawanan. Saat itu Guru Mangaloksa
menyadari perbuatannya terhadap mertua (hula-hula) bahwa itu sebenarnya
bertentangan.
Kemudian
lahirlah anak kedua, yang dinamakan Si Raja Panggabean, yang artinya
sejahtera. Guru Mangaloksa melihat, walaupun dia telah berbuat salah
terhadap mertua (hula-hula)nya, tapi dia masih diberikan kesejahteraan
(hagebeon) oleh Ompu Mulajadi Nabolon.
Kemudian
anak ketiga lahir diberi nama Si Raja Hutagalung. Dan Anak Keempat
diberi nama Si Raja Hutatoruan (Hutapea dan Lumbantobing).
Adapun Marga-marga keturunan Guru Mangaloksa adalah:
- Si Raja Na Barat yaitu marga Hutabarat
- Si Raja Panggabean yaitu marga: Panggabean,Simorangkir.
- Si Raja Hutagalung yaitu Marga Hutagalung.
- Si Raja Hutatoruan yaitu marga: Hutapea, Lumbantobing (dan beberapa memakai Hutatoruan).
Keempat
anak ini dikenal dengan Si Opat Pusoran. Dulunya sesama si Opat Pusoran
tidak boleh saling menikahi, namun seiring perjalanan waktu, sesama si
Opat Pusoran sekarang sudah bisa saling menikahi, hal itu tidak
melanggar adat.
Referensi :
- W. M. Hutagalung, PUSTAHA BATAK Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak.
- http://agusthutabarat.wordpress.com/guru-mangaloksa-dan-hutabarat/
Komentar
Posting Komentar